Mengulik Peristiwa dan Makna \"Rebo Wekasan\" di Randusanga

Keterangan Gambar : foto: ilustrasi
Judul diatas kalau ditanya kepada penulis kapan dimulainya kegiatan Rabu Wekasan di Randusanga, penulis belum bisa menjawab saat ini. Karena kegiatan tersebut sudah ada sejak jaman kakek nenek penulis. Rabu Wekasan atau pungkasan sendiri merupakan hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau lebih dikenal khususnya masyarakat Jawa sebagai Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan.
Rebo Wekasan dibeberapa daerah melakukan semacam “tradisi ritual” untuk menolak bala (bencana/musibah). Ritual yang dilakukan masyarakat menyambut Rebo Pungkasanpun berbeda-beda, sesuai tradisi yang berlaku di daerah masing-masing.
Leluhur Desa Randusanga Kulon pernah menyampaikan sebagaimana kakek penulis berwasiat kepada anak cucunya, "Jangan bekerja dahulu sebelum mengadakan slametan." Saat hari Rabu terakhir bulan Safar. Masyarakat Randusanga tidak boleh pergi ke tambak atau melaut sebelum selamatan Rabu Pungkasan. Hal ini dilakukan untuk menjaga keselamatan bekerja. Karena pada hari Rabu tersebut dirunkannya musibah (Jawa = blai) hari petaka atau kesialan (hari nahas, yaum nahs = يوم نحس).
Baca Lainnya :
- Ketua Umum PBNU: Imbau seluruh kader NU mengabdi untuk Indonesia0
- Membanggakan, Santri Ponpes Al-Hikmah 2 Benda Juarai Lomba Debat Bahasa Arab di Qatar0
- Merefleksikan Makna Kemerdekaan Republik Indonesia Bagi Semangat Generasi Muda NU0
- Perdana, PCNU Brebes Gelar Lailatul Ijtima, Sebagai Penguatan Antar Pengurus Lembaga, Badan Otonom0
- KH Misbachul Munir Kyai Kharismatik dan Kreatif 0
Menurut ulama ahli kasyaf Syeikh Kamil Fariduddin as-Syukarjanji dalam kitabnya Al-Jawahir al-Khoms, beliau mengatakan “Setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah Swt akan menurunkan 320.000 musibah dan bencana ke muka bumi,” Hal yang sama dikatakan oleh KH. Abdul Hamid Kudus ( Lahir 1277/1278 H. bertepatan dengan tahun 1860/1861 M. Wafat 1334 H atau 1915 M. dalam usia 58 tahun di makamkan di Ma'la. Beliau juga merupakan ulama ahli ma'rifat dari golongan ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi). Guru Besar Masjid Makkah Al-Mukarramah melalui karyanya yang berjudul “Kanzun Najah Was-Surur Fi al-Ad’iyah al-Ma`tsurah al-latiy Tasyrah ash-Shudur”. Beliau mengatakan “Setiap tahun Allâh Swt menurunkan bala’ ke dunia sebanyak 320.000 macam bala’ (malapetaka) untuk satu tahun. Tepatnya bala’ tersebut turun pada Rabu terakhir dari bulan Shafar atau yang terkenal dengan sebutan “Rebo Wekasan” untuk satu tahun ke depan. Sehingga hari Rabu tersebut menjadi hari tersulit dalam setahun, oleh karena itu disarankan untuk melakukan ritual tertentu/amalan dan memperbanyak doa pada hari tersebut.
Sebelum acara slametan kakek penulis biasanya mengingatkan kepada para tetangga ketika akan datang hari Rabu pungkasan untuk membuat "takir" ( tempat nasi dari daun pisang dan sebagainya yang disemat dengan lidi pada kedua sisinya yang sama). Takir tersebut dikumpulkan jadi satu dimushola kemudian berdoa bersama di pimpin oleh tokoh agama setempat. Namun pada era sekarang tidak semua memakai takir, tetapi ada yang pakai bok, plastik, kertas kotak dan Styrofoam Gabus.
Sepengetahuan penulis, dahulu kegiatan Slametan Rabu Wekasan dipimpin oleh kakek penulis, setelah meninggal dilanjutkan oleh orang tua penulis di Mushola begitu pula setelah orang tua penulis meninggal dilanjutkan oleh penulis sendiri di Mushola Ar-rahman Nurul Iman Randusanga Kulon Brebes. Acara Rabu Wekasan yang dilakukan bersama santri-santri kecilku dan masyarakat, dimulai dengan membaca Yasin setelah sholat Magrib, sholat sunnah mutlak dan ditutup dengan doa bersama di pagi hari. Selanjutnya takir yang dikumpulkan tersebut setelah selesai pembacaan doa, saling di tukar atau dibagikan pada orang lain, baik tetangga maupun di lingkungan tempat tinggalnya.
Serangkaian acara Rabu pungkasan, melalui dzikir, berdoa, sholat, sedekah dan silaturahmi merupan salah satu cara untuk menjauhkan dari segala penyakit, menolak petaka (bahaya) yang datang di hari Rabu terakhir bulan Safar serta sebagai wujud rasa syukur. Agar kita diberi keberkahan dan keselamatan oleh Allah SWT.
Menengok Ma'na Takir
Sebelum era sekarang yang banyak menjadi tempat wadah nasi, salah satunya adalah takir, menjadi kreasi wadah yang sangat familier, menarik dan disukai oleh banyak orang disamping pincuk, tempeleng, tum, sudi pasung, pinjung dll. Secara sederhana Takir terbagi menjadi 2 (dua) macam,
Takir biasa dan Takir Ponthang. Takir biasa atau takir daun pisang merupakan takir yang dibuat dengan melipat kedua sisi daun pisang, menyeimbangkan dua sisinya kemudian dikunci/ditusuk dengan lidi tajam agar takir bisa berdiri dan apabila dijadikan wadah maka isinya tidak tumpah.
Kedua, Takir Plontang adalah takir yang terbuat dari daun pisang dibuat menjadi cekung dengan lidi pohon kelapa sebagai pengikat dan diberikan daun kelapa muda atau janur di bagian pinggirnya.
Dalam pembuatan takir sepertinya sangat mudah, namun kalau diperhatikan dengan seksama dalam pembuatannya dilakukan dengan hati-hati dan jangan sampai tinggi sebelah atau robek daun pisangnya sehingga menyebabkan takir tidak sempurna & bila diisi makanan bisa tumpah dan berceceran.
Kata takir sendiri berasal dari dua kata "nata" karo "mikir" (menata dan berpikir) yang bermakna bahwa dalam kehidupan senantiasa harus mempertimbangkan dan menata setiap langkah yang diambil dengan pemikiran tenang, seksama, mendalam dan berhati-hati agar mendapatkan hasil yang terbaik.
Takir sebagai simbol keseimbangan dan keselarasan dua sisi yang kokoh dalam segala hal agar tidak berat sebelah "Njomplang." Takir menjadi simbol edukasi agar manusia mampu berperilaku seimbang antara pemenuhan kebutuhan dunia dan bekal menuju akhirat.
Sedangkan lidi (biting) dalam takir merupakan kunci pengikat agar takir kokoh dalam bentuknya. Lidi menjadi lambang niat, tekad dan keteguhan hati agar tidak mudah jatuh, putus asa serta kegigihan dalam menjalani kehidupan.
Biting yang atas bawahnya runcing memiliki makna biting mampu menyemat pembungkus sehinga dapat dibawa kemana-mana tidak jatuh. Biting merupkan kunci niat yang kuat karena Allah Swt, agar tidak oleng dengan niat yang lainnya.
Penggunaan daun pisang karena mudah didapat dan lebih praktis, bila dibuang juga mudah terurai dan kembali ke alam (simbol hubungan manusia dengan alam yang selaras dan tidak terpisahkan), saling memberi manfaat dapat menjadi kompos dan ramah lingkungan termasuk katagori sampah yang tidak berbahaya.
Simbol takir mengajarkan sebagai manusia agar memiliki perencanaan, keseimbangan antara jenis pekerjaan dan SDM yang ada, logika yang matang dalam setiap sesuatu yang akan dilaksanakan dan saat pelaksaan harus dijalankan penuh ketelitian dan kesabaran dengan perhitungan yang matang, sehingga tidak terjadi bocor dan sobek (kebocoran anggaran dan pembengkakan).
Wallahu'alam bish showab
Penulis : H. Lukman Nur Hakim, M.Pd. (Ketua LTNNU Brebes)
(Rabu Wekasan 2023, 13/9/2023)
